BLANTERVIO103

Hindari Kesombongan Intelektual dan Spiritual

Hindari Kesombongan Intelektual dan Spiritual
Sabtu, 04 Mei 2019
Dewasa ini banyak sekali orang yang berpendidikan tapi tidak memiliki akhlak atau orang beragama tapi memandang rendah orang yang tidak melakukan amal kesalehan seperti yang dia perbuat. Mereka asal saja menghakimi orang "dosa kamu", "kafir kamu", "masuk neraka" dan lain sebagainya. Padahal dia bukanlah Tuhan, yang bisa menentukan amalan ini berpahala dan yang ini bisa menambah dosa. Apa jangan-jangan memang dia yang nanti akan menentukan manusia masuk surga atau neraka?

Dan apa mereka itu sudah yakin, dengan ibadah dan amalan kebaikan yang sudah mereka lakukan bakal membawa mereka ke surga? Padahal surga dan neraka itu adalah hak prerogatif Allah, tidak bisa dikalkulasikan seperti kita bekerja lalu diberikan gaji. Kerja lembur diberi gaji tambahan dan jikalau melakukan kesalahan dipotong gajinya. Jika kalian menganggap semua amalan ibadah yang sudah kalian lakukan semasa hidup, itu setara dan layak dengan ganjaran surga. Tidak. Bahkan satu nikmat -misalnya nikmat bernafas-, jika dibandingkan dengan semua ibadah kalian semasa hidup, itu belum cukup. Tidak sebanding sama sekali. Kalau nikmat yang Allah berikan kepada kalian itu setara dengan tinta pena di seluruh dunia, amalan ibadah kalian itu tidak ada setitik tinda yang ada di ujung pena.

Kalian sudah pernah dengar hadits Nabi tentang seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing dan masuk surga? Pasti sudah. Karena hadits ini sangat familiar. Kalau kalian tanya apa hadits ini shahih. Saya jawab "iya". Karena hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya. Begini haditsnya: 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita pezina telah mendapatkan ampunan. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dipinggir sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan, (melihat ini) si wanita pelacur itu melepas sepatunya lalu mengikatnya dengan penutup kepalanya lalu dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya itu dia mendapatkan ampunan dari Allâh Azza wa Jalla.

Disampaikan juga oleh Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta) di suatu kesempatan. Di dalam kitab Ihya Ulumuddin terdapat kisah: Ada seorang pelacur yang ingin bergabung dalam majlis ilmu yang dipimpin oleh seorang ulama besar. Tapi ditolak, karena takut mencemarkan dan merendahkan majlisnya. Tapi apa tanggapan Rasullah? Nabi Muhammad bersabda, "Pelacur ini ahli surga dan ulama ini ahli neraka". Jadi kita tidak boleh memiliki kesombongan intelektual dan spiritual. Tidak boleh memandang enteng dan rendah orang lain. Kita semua memiliki kewajiban mendidik dan berdawah dengan baik dan benar.

Sangat disayangkan, akhir-akhir ini banyak orang yang mengaku ulama. Tapi apa yang disampaikan malah memprovokasi umat. Hanya karena masalah perbedaan pilihan politik, dia mengkafirkan sesama penganut agamanya dan mendungukan semua orang yang berbeda pendapatkan dengannya. Bahkan rasa kemanuasiannya telah hilang. Adab dan perilakunya di atas mimbar pun tidak mencerminkan seorang ulama.

Dari kiri ke kanan: KH. Ubaidillah Shodaqoh (Rais NU Wilayah Jawa Tengah); KH. Mustofa Bisri (dikenal dengan nama Gus Mus); KH. Syarofuddin Qoumas (Pengasuh PP. Raudlatut Thalibien Rembang); dan KH. Chatib Mabrur (Pengasuh Pesantren Al-Qur'an Raudlatut Thullab Rembang). Foto: Instagram: @s.kakung

Gus Mus pun pernah mengatakan dalam akun sosial medianya. "Difoto bersama kiai-kiai muda potensial. Meski menurut ukuran 'zaman now' mereka ini -beliau menyebutkan nama-nama kiai yang berfoto dengannya- (foto atas) orang-orang yang cukup alim. Belajar bertahun-tahun di pesantren. Mereka malu dan tidak mau disebut -apalagi menyebut diri- ulama. Karena mereka tahu definisi dan kriteria ulama."

Banyak sekarang ini orang mengaku-aku sebagai ulama. Tapi mereka tidak bisa menjaga muruah seorang ulama seperti apa. Yang ditampilkan hanya kemarahan, bukannya kemurahan (hati); kebencian bukannya kasih sayang; kedengkian bukannya perdamaian.

Jangan sampai kita salah memilih ulama. Ulama alim sejati tidak akan pernah ada kata kasar yang menghujat keluar dari mulutnya.


Yogyakarta, 4 Mei 2019

Share This Article :
Moh Syaifudin

TAMBAHKAN KOMENTAR

8068807973247711497